.Apakah
Anda akan menunggu saja datangnya penghasilan sambil mengharap situasi
aman, ataukah akan mengejarnya dan menemukan tempat persembunyiannya di
tengah situasi konflik sekalipun.... (diolah dari Intisari Kewiraswastaan)
KATA-KATA
terakhir itulah yang dilakukan Lalita Thongngamkam, wanita muda
Thailand, saat memulai usaha restoran di negara-negara konflik beberapa
tahun silam. "Ketika sebuah negeri mengalami gejolak, saya justru
tertarik ke sana," ujar Thongngamkam sebagaimana dikutip harian The
Asian Wall Street Journal edisi 9-11 Mei.
DAN berpuluh
tahun kemudian, Thongngamkam membuka usaha restoran makanan Thailand di
Kabul, ibu kota Afganistan. Terakhir, dia siap-siap membuka cabang di
Baghdad, Irak. "Irak mungkin saja menjadi target saya berikutnya,
terutama apabila militer Amerika Serikat memberikan wewenang kepada PBB
untuk mengatur dan membangun kembali negeri itu," ujarnya di Kabul.
Thongngamkam
berada di sebuah negeri yang bergejolak sejalan dengan kehadiran badan
PBB di sana. Kehadiran pasukan dan pejabat PBB, pekerja sosial,
kontraktor bangunan dan sarana umum, merupakan peluang yang sangat
besar bagi usaha jasa makanan. Karenanya, restoran Thailand milik
Thongngamkam ini ada di Kamboja, Somalia, Rwanda, Timor Timur, Kosovo
dan kini Afganistan.
Dalam bobot yang
lain beberapa anak muda Indonesia juga ada yang berbuat "nekat" seperti
Lalita. Mereka tetap gigih berusaha atau mempertahankan aktivitas
bisnisnya di tengah situasi perekonomian Indonesia yang tertatih-tatih.
Sebut saja Sony Sugema (38), pemilik PT Quantum Global (Q-College), PT
Sony Sugema Eduka, Sony Sugema College (SSC), dan Ketua Yayasan Tunas
Informatika, yang membawahi Sekolah Tinggi Teknologi Informatika Sony
Sugema.
Bidang yang
digelutinya pendidikan terutama bimbingan belajar. Khusus SSC hingga
kini sudah memiliki 46 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia.
Jumlah siswa SSC mencapai 25.000 orang, dengan staf pengajar seluruhnya
600 orang.
Atau Diono
Nuryadin (40), Vice President PT JAS, perusahaan yang antara lain
bergerak di bidang servis cargo ke penerbangan asing. Ia juga
mengendalikan keuangan kelompok usaha Bimantara, di mana ia menjabat
direktur keuangan. Selain itu Hotasi Nababan (38), Direktur Utama
Perusahaan Penerbangan Merpati, Pramono Anung (40), pengusaha sekaligus
pemilik lima perusahaan pertambangan yang juga Wakil Sekjen PDI
Perjuangan, serta Arif Yunara (27), pemilik bengkel motor di Bandung
yang mengerjakan sejumlah montir.
Aktivitas bisnis
anak-anak muda itu tetap eksis walaupun awan gelap krisis masih
menyelimuti republik ini. Bagai secercah titik terang di tengah
kegalauan bangsa, mereka berupaya tampil ke depan memimpin usaha,
mempertahankan, atau menjalankan roda perusahaan sekaligus menghidupi
banyak orang. Terlepas dari perusahaan itu warisan atau dibangun
sendiri, paling tidak mereka masih memancarkan sinar yang lain di
tengah keredupan ekonomi republik ini.
Mungkin masih
banyak kegiatan usaha anak-anak muda lain yang tidak terliput. Akan
tetapi, kalau mengamati semaraknya aktivitas mereka, sepertinya tidak
terasa bahwa mereka berada di dalam situasi krisis. Apakah itu
merupakan tanda-tanda membaiknya perekonomian?
Pembangunan fisik
di DKI Jakarta, sekadar menyebut sebuah contoh, mulai menggebu. Jakarta
Outer Ring Road (JORR) yang dulu suka dipelesetkan sebagai jalan ora
rampung-rampung, mulai dikerjakan. Belasan flyover, underpass dan jalan
akses di Jakarta, Bogor, Bekasi, Depok, Tangerang, dan Cibubur sedang
giat dirampungkan. Sejumlah bangkai bangunan setengah jadi dilanjutkan.
Beberapa mega proyek properti juga tengah dikerjakan.
Tentu sangat
berlebihan jika disebutkan bahwa pembangunan JORR, jalan layang,
terowongan, dibangunnya kembali banyak kompleks perumahan dan
gedung-gedung pencakar langit langsung disebutkan sebagai indikasi
berhentinya krisis ekonomi.
Akan tetapi,
pembangunan berbagai proyek properti dan infrastruktur tersebut bisa
disebutkan sebagai sinyal paling awal bagi perbaikan ekonomi nasional.
Sebab, menurut pengalaman, properti yang selalu paling awal memberi
sinyal bagi kejatuhan perekonomian sebuah negara dan properti pula yang
paling cepat memberi sinyal kebangkitan perekonomian. Jadi, bisalah,
berbagai pembangunan fisik itu sebagai sinyal awal menyehatnya
perekonomian nasional.
Indikator lain
yang bisa menjadi parameter mulai membaiknya perekonomian ialah
perkembangan sektor ritel yang amat cepat. Mal-mal, pusat-pusat
perbelanjaan modern, ruko, perumahan berbagai tipe, apartemen, dibangun
di mana-mana. Selain di Jakarta, tampak pula di Bandung, Makassar,
Medan, dan terutama Surabaya.
SINYAL-sinyal
itulah yang ditangkap Arif. Setelah empat bulan bekerja di sebuah
perusahaan asing, Agustus 2001 dia memutuskan untuk kembali ke
Indonesia. Ia berani beresiko meninggalkan pekerjaan di luar negeri
yang dari sisi ekonomi sebenarnya cukup menjanjikan. Seperti kata
Aristoteles, filsuf Yunani, anak muda selalu berpikir bahwa mereka tahu
segala sesuatu dan yakin pada pernyataannya.
Dengan modal awal
95 juta rupiah, Arif membuka bengkel di Jalan Dipatiukur Bandung,
Oktober 2001. Selama enam bulan, Arif banyak belajar dari
bengkel-bengkel lain. Selain bertukar pikiran, Arif pun banyak
menelepon bengkel lain untuk mengetahui tarif jasa dan harga onderdil
motor.
Setelah berjalan
satu setengah tahun, Arif kini bahkan telah mampu membuka satu bengkel
lagi. Bengkelnya yang satu lagi terletak di Jalan Pahlawan, Bandung.
Pegawainya pun akan bertambah satu lagi menjadi enam orang.
Bengkelnya pun
banyak didatangi pengunjung. Setiap hari antara 20 sampai 30 orang
pelanggan datang ke bengkelnya. Tidak semua yang datang bertujuan untuk
memperbaiki kerusakan motornya, ada juga yang membeli onderdil atau
sekadar mengobrol dengan montir di bengkel tersebut. Arif tidak pernah
melarangnya.
Dia bahkan
membiarkan pemilik motor belajar memperbaiki motornya sendiri dan
memberikan tips-tips kecil yang berguna bagi pemilik motor. Selain itu,
Arif pun memberikan garansi bagi pemilik motor. Apabila motor yang
telah diperbaiki di bengkelnya ternyata masih kurang memuaskan, Arif
bersedia memperbaiki kerusakannya tanpa dipungut biaya lagi.
Omzet untuk satu
bengkel Arif per minggu berkisar antara Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta.
Untuk gaji karyawan di satu bengkelnya, per minggu Arif menghabiskan
dana Rp 1 juta. Dengan demikian, dia masih mampu beroleh keuntungan
antara Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta setiap minggunya.
Penghasilan
sebesar itu, kata Arif, sangat jauh dibandingkan ketika dia masih
bekerja di perusahaan multinasional. "Gaji saya sebulan setara dengan
gaji pokok direktur Bursa Efek Jakarta," kata Arif. Kendati bekerja di
perusahaan multinasional dengan gaji tinggi dan sempat dikirim ke
Malaysia, Cina, dan Amerika Serikat (AS), Arif mengaku belum menemukan
kecocokan.
Sekarang, aku
Arif, dirinya menemukan kepuasan tersendiri. Selain dapat membagi
rezeki yang dia punya dengan orang lain, dia pun dapat bergaul dengan
banyak orang dari banyak kalangan.
Kunci sukses Arif
terletak pada keseriusan, kegigihan, dan kemauannya untuk belajar. Arif
tidak pernah malu untuk bertanya dan bahkan dia mengaku memiliki
komunitas tersendiri. Seluruh anggota komunitasnya merupakan anak-anak
muda yang memiliki usaha sendiri.
Sebenarnya, kata
Arif, banyak anak-anak muda seperti dirinya yang memiliki kemauan dan
kemampuan untuk berwirausaha. Sayangnya, mereka umumnya kesulitan dalam
menentukan usaha apa yang akan mereka buat.
"Umumnya mereka
bingung, apa yang harus mereka kerjakan pertama kali," kata Arif.
Karena itu, Arif menganjurkan agar setiap kampus dan lembaga
pemerintahan memiliki inkubator bisnis. Di tempat ini, kata Arif, para
pelaku usaha yang baru akan diberikan informasi mengenai apa dan
bagaimana usaha yang akan mereka jalankan.
"Di inkubator,
mereka dapat memperoleh informasi yang selama ini mereka cari," kata
Arif, yang juga salah satu pencetus konsep di inkubator bisnis ITB.
Sejauh ini, sudah sembilan puluh perusahaan yang lahir dari rahim
inkubator bisnis ITB. Usahanya umumnya berskala mikro atau memiliki
omzet antara 0 hingga Rp 9 juta per bulan.
Di negara maju,
kata Arif, inkubator bisnis semacam ini sudah banyak dibentuk dan cukup
berhasil. Hal ini antara lain disebabkan kesadaran pemerintah di negara
maju untuk mengembangkan industri kecil dan menengah cukup tinggi.
Apalagi, 90 persen kontribusi pendapatan suatu negara sebenarnya
berasal dari industri kecil dan menengah.
"Pemerintah
seharusnya memberi perhatian khusus kepada industri ini karena memiliki
potensi yang besar," kata Arif yang menghabiskan sebagian besar
waktunya di lingkungan kampus. Lulusan Teknik Fisika ITB tahun 2000 ini
sejak kuliah aktif berorganisasi di lingkungan kampus. Minatnya yang
besar di bidang sumber daya manusia membuatnya sering diminta
membidangi penelitian dan pengembangan yang banyak berhubungan dengan
sumber daya manusia.
Hingga kini, ia
aktif di Perhimpunan Studi Ilmu Kemasyarakatan (PSIK). Beberapa kali
menjadi koordinator di berbagai acara kampus sampai akhirnya dipilih
sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) Keluarga Mahasiswa (KM) ITB.
SONY Sugema
mengaku mengawali karirnya sebagai "pengusaha" bimbingan belajar ketika
duduk di kelas dua SMU Negeri 3 Bandung saat berusia 15 tahun. Ketika
itu, ayahnya meninggal dunia sehingga Sony harus bekerja untuk
menghidupi ibu dan keempat adiknya. Ia lalu memberi les privat kepada
teman-teman sekelasnya.
"Soalnya saya
nggak tahu harus ke mana nyari orang yang mau les privat. Saya tawarin
ke teman-teman, mau nggak lima ribu sebulan. Ternyata beberapa teman
saya mau," kata Sony. Dia memang dipercaya teman-temannya untuk
mengajar, mengingat otaknya yang cerdas.
Setelah mengajar
teman-temannya di SMU, Sony mengaku ketagihan mengajar dan merasa
tertarik dengan dunia pendidikan. "Awalnya saya tertarik, ngajar itu
kok enak. Terus, tiap minggu di SMU 3 ada try out dan pembahasan, itu
gratis. Itulah awal mula saya terjun ke dunia bimbingan belajar," ujar
Sony.
Tahun 1982, Sony
lulus tes masuk ke Institut Teknologi Bandung (ITB) Jurusan Teknik
Sipil. Ketika dia masih tingkat satu, Sony memutuskan untuk menikah.
Saat itu istrinya kuliah di jurusan Biologi ITB dan berumur sekitar
tiga tahun lebih tua.
Setelah menikah,
Sony merasa tanggungannya semakin banyak. Akhirnya, untuk menambah
penghasilan, dia memutuskan untuk menjadi guru di SMU Angkasa Bandung.
Ketika itu Sony mengajar pelajaran matematika, fisika, dan kimia untuk
siswa kelas satu, dua, dan tiga.
"Setelah itu,
saya bekerja sebagai pengajar di beberapa bimbingan belajar. Baru pada
tahun 1990 saya memutuskan untuk membuka bimbingan belajar sendiri,"
kata Sony.
Cikal bakal Sony
Sugema College (SSC) ini awalnya terletak di Jalan Dipatiukur. Modal
awal pendirian bimbel ini hanya Rp 1,5 juta, yang diperoleh Sony dari
pembayaran royalti buku-bukunya. Sony Sugema memang pernah menulis buku
tentang pembahasan soal-soal UMPTN yang setiap tahun selalu
diperbaharui.
Awalnya murid
bimbingan belajar ini hanya 140 orang dan Sony satu-satunya pengajar.
Uang sebesar Rp 1,5 juta itu, kata Sony, digunakannya untuk menyewa
ruangan tempat belajar sebesar Rp 750.000 dan sisanya untuk membayar
gaji karyawan. Bimbingan belajar ini awalnya hanya mengkhususkan diri
sebagai bimbingan belajar intensif untuk menghadapi Ujian Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN).
Lama kelamaan,
Sony merasa bahwa dirinya lambat laun tidak bisa menikmati hasil jerih
payahnya karena terlalu sibuk bekerja sebagai pengajar tunggal.
Akhirnya, dia memutuskan untuk meminta teman-temannya dari ITB, UNPAD,
dan IKIP (sekarang UPI) untuk membantunya mengajar di bimbingan belajar
tersebut.
Tahun 1991, dia
membuka cabang di Jakarta disusul cabang-cabang di seluruh Indonesia.
Lembaga bimbingan belajar ini berhasil meluluskan 618 orang siswanya ke
ITB. Jumlah ini, kata Sony, menunjukkan hampir separuh mahasiswa ITB
merupakan lulusan SSC.
Ketika ditanya
apa yang membedakan SSC dengan bimbingan belajar lain, Sony mengaku dia
menerapkan dua sistem pengajaran. Sistem yang pertama, kata Sony, dia
menciptakan sistem penyelesaian soal dengan cepat yang diklaim sebagai
the fastest solution.
Fastest solution,
kata Sony, adalah cara belajar agar pelajaran lebih mudah dipahami oleh
siswa. Apabila siswa mudah memahami pelajaran, siswa akan lebih
bersemangat untuk belajar.
Selain fastest
solution, Sony juga memiliki metode lain, yaitu learning is fun. Dengan
metode ini, kata Sony, siswa akan lebih bergairah dan bersemangat dalam
mempelajari pelajaran-pelajaran yang selama ini dianggap menakutkan
seperti matematika dan fisika.
"Sebelumnya
banyak siswa yang geuleuh (tidak suka) sama matematika. Sekarang,
dengan metode ini, kita membuat anak mencintai matematika," kata Sony.
Dengan kedua
metode pengajaran tersebut, mau tidak mau pengajar yang berminat untuk
menjadi guru SSC harus memenuhi sejumlah kriteria. Di antaranya, selain
menguasai bahan pelajaran yang akan diajarkan, pengajar juga tidak
boleh terlalu serius dan dapat diterima oleh siswa.
Sebelum menjadi
pengajar pun, kata Sony, mereka harus melewati beberapa tes. Ujian yang
pertama adalah tes tertulis untuk mengetahui seberapa jauh calon
pengajar menguasai materi pelajaran yang diajarkan. Setelah itu, mereka
diharuskan melakukan simulasi mengajar di depan guru-guru SSC. Setelah
magang selama tiga bulan, barulah calon pengajar tersebut diangkat
menjadi pengajar tetap.
Gaji yang
diterima para pengajar cukup memadai, berkisar antara Rp 20.000 hingga
Rp 50.000 setiap jam mengajar. "Kita kan harus memperhatikan
kesejahteraan guru-guru," kata Sony.
Selain berkat doa
dan kasih sayang ibu, Sony mengaku salah satu kunci kesuksesannya yang
lain adalah dia berani untuk gagal. Kelemahan yang terdapat pada
sebagian besar anak muda, kata Sony, adalah karena sebagian besar dari
mereka takut gagal. Padahal, kata Sony, dengan kegagalan kita bisa
belajar banyak
"Perusahaan besar
saja pernah gagal. Namun, umumnya orang tidak pernah melihat kegagalan
sebelum kesuksesan yang mereka raih sekarang," kata Sony. Dia juga
menilai anak muda sekarang umumnya tidak mau bersakit-sakit dalam
memulai suatu usaha.
Sony memang berhasil mengembangkan bisnisnya-yang semuanya masih di bidang pendidikan-hingga menjadi empat perusahaan.
Tidak heran jika
dia menerima penghargaan dari ITB sebagai Penghargaan Alumni ITB
Berprestasi tahun 2002 dalam bidang industri. Sebelumnya, Sony
memperoleh penghargaan Citra Top Executive Indonesia tahun 1997 dan 50
Enterprise Semangat Wirausaha Indonesia dari majalah SWA dan Accenture.
Serius dan
berkemauan keras memang salah satu falsafah hidupnya. Hasilnya, dia
sukses pada usia muda. Pepatah mengatakan, di mana ada kemauan di situ
ada jalan. (B11/dmu)
Sumber : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/18/Fokus/314400.htm